Selasa, 30 Maret 2010

Episode 1 Dengan ditemani secangkir kopi susu panas, kusebrangi selat itu dengan kapal feri, menuju sebuah pulau kecil di ujung selatan Inggris. Dingin, dingin saja yang kurasa, dan kabut saja yang kulihat.
Episode 2 Sepanjang jalan, sambil menggeletar kedinginan di dalam bis, dari balik kaca kupandangi rumah-rumah mungil yang melintas berlarian di balik kabut. Rumah-rumah pedesaan yang bak lukisan. Bunga-bunga daffodil yang kuning cemerlang tertunduk mengangguk-angguk. Kedinginan juga mungkin.
Episode 3 Rumah tua milik keluarga aristokrat tua. Karena alasan ekonomi ia harus menjadi penginapan dan menerima kami, orang-orang asing, di lantai kayunya, di atas karpet mewahnya, kamar-kamar besarnya, di depan perapian-perapian tuanya. Tangga kayu berkeriut-keriut di bawah sepatu hikingku, terbeban berat badanku ditambah sebuah ransel raksasa, sebuah traveling bag dan sebuah tas kamera. Lukisan-lukisan tua, cermin-cermin dan karpet tebal menawarkan suasana dua abad yang lalu. Dan kubiarkan batinku tenggelam ke dalam bayang-bayang masa lalu, memandang tokoh-tokoh buku-bukuku berloncatan keluar dari halaman-halamannya.
Sebagai satu-satunya perempuan di grup ini, kawan, aku selalu dimanjakan. Kamar terbaik diberikan padaku. Jendela kaca besar memandang ke arah laut, dengan lapangan berumput di bawah yang melandai ke arah ujung tebing. Dan tebing. Dan laut. Ombak berdebur-debur. Dari atas balkon berlantai kayu yang diterpa angin dingin, aku menggeletar kedinginan memandangi laut. Nun jauh di horison sana adalah ujung tanah Spanyol. Tanah tua juga, dengan wajah-wajah latin bertemperamen tinggi. Dan di baliknya lagi... Afrika! Anganku melayang jauh. Ke tanah panas bertabur mentari. Kelak, kelak, kawan, akan kuinjakkan kakiku juga ke sana! Dan akan kurasakan keliarannya! Kaki-kakiku yang selalu gelisah ingin mengarungi dunia ini bergetar gembira.
Bulan purnama gemerlap keperakan mengintip di balik awan. Sinarnya menyentuh lembut permukaan laut, menebar sejuta berlian di atasnya dan menyeka lantai kamarku. Sambil bersembunyi di balik selimut tebal, kudengarkan suara deburan ombak yang mengingatkanku pada tebingku di Wonosari sana. Dan dunia mimpi pun datang merangkum.
Episode 4 Pagi yang kejam. Semburan air bertubi-tubi mengucur dari langit, awan gelap bergulung-gulung, angin kencang menerpa-nerpa kaca jendela kamar makan mewah ini, dan hatiku mengkeriut. Di sini, di dalam kehangatan ruang dengan pediangan api, dingin tak terasa. Tapi di luar sana?
Air sedingin es mengucur memukul-mukul payungku, angin menyambar-nyambar. Di balik kaus tebal, sweater tebal, dan jaket tebal, di balik stocking, celana ketat, celana hiking, kaus kaki dan sepatu, dan di balik kaus tangan tebal dan syal tebal, tangan, kaki dan tubuhku bergetar hebat. Dingin, dingin. Kuusahakan berkonsentrasi pada kertas data seismik berbungkus plastik di tangan kiriku, sambil mendengarkan tutor yang sibuk menunjuk-nunjuk pada tebing di muka kami. Berusaha menghujamkan pengetahuan di kepala kami. Gagal. Yang terdengar di telingaku adalah debur kemarahan ombak yang menerpa-nerpa kaki tebing di bawahku.
Episode 5 Akhirnya alam bermurah hati juga. Setelah sepiring ikan dan kentang goreng panas serta segelas bir dari sebuah pub pedesaan bertengger dengan nyaman hangat di perutku, mentari menampakkan senyumnya. Dan keriangannya menular. Maka akupun bergegas menuju tebingku.
Tebing kapur ini kawan, hampir seperti tebing Wonosari kita, tempat kita sering mancing semalaman. Mereka sama-sama kapur, gamping. Hanya tebing ini sangat-sangat tua. Tebing kita 'baru' berumur 20 juta tahun. Tebing di depanku ini, kawan, dibentuk kira-kira 140 juta tahun yang lalu. Tebing kita, dibentuk di lautan biru dangkal yang ceria, dari koral-koral yang tegar menantang ombak, yang haus matahari, dan cangkang kerang dan siput yang berenang-renang ria di baliknya. Tebing ini, kawan, dibentuk selama jutaan tahun di dasar laut yang dalam, dingin dan sepi, oleh cangkang-cangkang binatang laut super kecil yang pelan berjatuhan ke atasnya.
Setiap kali aku berhadapan dengan batuan kawan, kurasakan diriku mengecil. Berapa umurmu sekarang? Bandingkan dengan umur 150 juta tahun batu yang kugenggam ini! Dia menjadi saksi saat tanah ini masih dikuasai binatang-binatang raksasa! Dinosaurus saling memangsa, dan alam masih belum tersentuh manusia. Kita ini sangat-sangat muda kawan, dibandingkan dengan batuan yang kita injak. Kalau semesta dibentuk dalam 24 jam kawan, manusia pertama, nenek moyang kita, mahluk kasar yang berevolusi dari kera itu, dia baru muncul pada detik terakhir sebelum hari yang baru dimulai lagi. Kita bukan apa-apa dibanding alam yang tua. Batu di tanganku ini, dia mengingatkan pada keagungan.
Episode 6 Dari puncak bukit kulihat tanah ini. Hati berdesir penuh kerinduan. Bukan, ini bukan tanahku. Tanahku tropis dan bermandi matahari, dan lekuk-lekuknya kasar dan liar, muda. Tanah ini, yang pelan-pelan muncul dari balik kabut, adalah tanah tua. Sejarah yang lewat. Tanahku adalah sejarah baru! Ia sangat muda dan bersemangat. Gunung-gunungnya memuntahkan api, dan pelan-pelan ditariknya dan ditelannya kerak bumi di dasar Samudra Hindia! Tanahku tanah aktif. Tanah ini tanah pasif. Pelan-pelan dia tenggelam dan tenggelam, sampai nanti akhirnya tersungkur di bawah laut.
Epidode 7 Akhirnya, di bawah sinar matahari yang menyiram-nyiramkan kehangatan, kutinggalkan pulau ini. Sekali lagi menyeberangi selat dengan feri, kali ini tanpa secangkir kopi panas. Dari atas dek kulayangkan pandangan ke pulau itu. Bunga-bunga daffodil dan daisy mengangguk-angguk ceria, melambaikan tangan padaku.

2 komentar:

  1. daffodil juga turut berdoa untuk sang pengelana yang akan bepergian ke tanah baru. :-)

    BalasHapus
  2. Bu Latifah piye khabare? long time I dont hear anything from you...semoga selalu smile..

    BalasHapus